”Untuk itu, reformasi kurikulum diperlukan karena kurikulum yang fokus terhadap kemampuan esensial, berpotensi mengurangi, menekan, kehilangan hasil belajar (learning loss) selama pandemi,” kata Mark.
Baca Juga: BWF World Tour Finals 2022: Anthony Ginting dan Jojo Siap Beradu Mental, Ini Rekor Pertemuannya
Temuan ketiga, kata dia, meskipun Covid-19 berdampak untuk semua sis wa, tetapi siswa kelompok rentan cenderung paling terdampak. Siswa dengan multikerentanan berpotensi punya hasil belajar lebih rendah.
Tidak memenuhi
Lebih lanjut Mark mengatakan, siswa di perdesaan dan di daerah terpencil, lebih banyak yang memiliki performa literasi dan numerasi tingkat 1. Hal itu tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum dibandingkan siswa di perkotaan.
Selain itu, dengan siswa laki-laki penyandang disabilitas di perdesaan, 91 persennya tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum. Di perkotaan, sebanyak 82 persennya tidak memenuhi keterampilan minimum.
Menurut Mark, faktor lainnya adalah guru dan keluarga. Dia menyebutkan, 56 persen guru di perdesaan dan daerah terpencil, merasa kurang percaya diri untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sementara guru di perkotaan yang kurang percaya diri untuk melakukan PJJ, hanya 37 persen.
Dari sisi orang tua, orang tua siswa di perkotaan lebih terlibat dalam studi anak-anak mereka dibandingkan orang tua di perdesaan dan daerah terpencil.
Dilansir dari pikiranrakyat.com dalam artikel "Banyak Siswa Kelas V dan VI Belum Bisa Membaca, Riset Ungkap Penyebabnya", Mark menuturkan, studi juga menyimpulkan bahwa kurikulum yang berfokus pada kemampuan esensial (literasi dan numerasi) ber potensi mengurangi learning loss.