Serangan Fajar Marak saat Pemilu, Ini Hukum Politik Uang dalam Islam Menurut MUI

- 14 Februari 2024, 12:00 WIB
Ilustrasi. Hukum serangan fajar atau politik uang yang kerap  muncul saat Pemilu. Ini kata MUI.
Ilustrasi. Hukum serangan fajar atau politik uang yang kerap muncul saat Pemilu. Ini kata MUI. /Pixabay/Mohamed_hassan/

SEPUTARLAMPUNG.COM – Fenomena serangan fajar marak saat Pemilihan Umum (Pemilu). Bagaimanakah hukum politik uang ini dalam Islam? Simak penjelasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Mengutip laman Pusat Edukasi Anti Korupsi, serangan fajar atau kerap disebut juga dengan istilah politik uang, adalah praktik yang marak muncul pada masa Pemilu, yang tidak hanya terbatas pada uang.

Praktik serangan fajar ini bertujuan untuk memengaruhi pilihan masyarakat saat waktu pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Dengan kata lain, serangan fajar adalah cara curang dalam mendulang suara pada Pemilu, yang dilakukan oleh kandidat peserta pemilihan.

Baca Juga: Apakah Wudhu dan Sholat Sah jika Jari Kena Tinta Pemilu? Simak Penjelasan dari MUI Ini

Untuk itulah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap serangan fajar ini melalui kampanye ‘Hajar Serangan Fajar’.

“Prinsip pemilihan umum adalah jujur dan adil. Berbagai pemberian atau yang sering disebut serangan fajar merupakan sebuah tindak pidana yang bertolak belakang dengan nilai jujur karena bertujuan “membeli suara” atau memengaruhi kita agar mengubah pilihan sesuai dengan pilihan pemberi,” dikutip Seputarlampung.com dari akun Instagram @official.kpk.

Dilansir dari laman mui.or.id, Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, memilih pemimpin harus berdasarkan kompetensi, yang mengemban amanah demi kemaslahatan. Tidak boleh pilih pemimpin didasarkan atas sogokan atau pemberian harta.

"Orang yang akan dipilih dan mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap (serangan fajar), itu hukumnya haram," katanya.

Baca Juga: PENTING! Sebelum Nyoblos di TPS 14 Februari 2024, Baca Doa Ini agar Dapat Pemimpin yang Baik bagi Indonesia

Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini menyampaikan, MUI juga telah menetapkan fatwa tentang Hukum Permintaan dan/atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan para pejabat publik.

Berikut isi ketetapan fatwa MUI tersebut:

  1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap segala proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya, maka hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
  2. Meminta imbalan pada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai caleg, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan/atau jabatan publik lainnya, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya adalah haram.
  3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai caleg, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publi lainnya, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya adalah haram.
  4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.

Baca Juga: Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadhan 1445 H pada 11 Maret 2024, Kapan Puasa Dimulai Versi Pemerintah?

Itulah hukum serangan fajar yang kerap muncul saat Pemilu menurut MUI.***

Editor: Ririn Handayani

Sumber: MUI Instagram @official.kpk Pusat Edukasi Anti Korupsi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah