Angklung diketahui sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda dan telah dimainkan sejak abad ke-7.
Dulu, penduduk desa percaya bahwa suara bambu dapat menarik perhatian Dewi Sri, yang merupakan Dewi Padi dan Kesuburan.
Itulah mengapa pada setiap acara-acara yang berhubungan dengan padi, akan ada alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi-bunyian.
Pada abad ke-12 hingga abad ke-16, Angklung dimainkan oleh kerajaan Sunda sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Sri.
Sementara dalam Kidung Sunda, Angklung diceritakan sebagai alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, sebagaimana yang terjadi pada masa Kerajaan Padjajaran (Hindu) dan saat terjadinya perang Babat.
Pada tahun 1938, Daeng Soetigna salah satu tokoh yang berperan dalam perkembangan angklung jawa barat menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis.
Sejak saat itulah angklung lebih bisa dimainkan secara harmonis bersama alat musik barat termasuk dalam bentuk orkestra.
Hingga kini, Angklung dimainkan oleh masyarakat luas dan menjadi warisan budaya Indonesia yang terus dilestarikan. Salah satu pusat rumah seni yang melestarikan Angklung adalah Saung Udjo di Bandung.
Baca Juga: Kunci Jawaban PAI dan Budi Pekerti Kelas 12 SMA Halaman 35 Evaluasi Kurikulum Merdeka