Jelang Satu Tahun Masa Pemerintahan, Ini 5 Kebijakan Kontroversial Jokowi pada Masa Pandemi Covid-19

- 18 Oktober 2020, 14:00 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingatkan selalu gunakan masker, cuci tangan dan hindari kerumunan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingatkan selalu gunakan masker, cuci tangan dan hindari kerumunan /Biro Pers Seketariat Presiden/.*/Biro Pers Seketariat Presiden

SEPUTAR LAMPUNG - Pada 20 Oktober 2020 yang tinggal menghitung hari, masa pemerintahan Jokowi Widodo dan Ma'ruf Amin tepat berusia satu tahun.

Di masa pemerintahan yang bisa dibilang belum lama ini, ada sejumlah kebijakan pemerintah yang telah menuai banyak kontroversi bahkan penolakan keras dari segenap elemen masyarakat.

Salah satunya, pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020 lalu yang masih menjadi polemik hingga kini.

Salah satu hal yang memicu kontroversi adalah UU tersebut disahkan saat mayoritas masyarakat berjibaku dengan pandemi yang meluluhlantakkan banyak sendi kehidupan masyarakat.

Banyak PHK terjadi. Dan pengesahan UU Cipta Kerja dirasa membuat kehidupan pekerja menjadi lebih sulit. Sebaliknya, banyak pihak menuding, Omnibus Law UU Cipta Kerja lebih menguntungkan pihak pengusaha dan bahkan pekerja asing.

Selain UU Ciptaker, ternyata masih ada sejumlah kebijakan lain dari pemerintahan Jokowi yang juga menuai banyak kontroversi.

Baca Juga: Ke Singapura Kini Boleh Tanpa Visa, Syaratnya Wajib Registrasi Melalui Aplikasi Ini

Dilansir dari KabarLumajang.com dalam artikel "Tidak Hanya UU Omnibus Law Cipta Kerja, Ini 5 Kebijakan Kontroversial Jokowi Pada Pandemi Covid-19", berikut sejumlah kebijakan yang mengundang kontroversi tersebut:

1. UU Omnibus Law Cipta Kerja

Kebijakan kontroversial pertama dan yang sedang ramai diperdebatkan adalah melenggangkan pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

DPR dan pemerintah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Senin, 5 Oktober kemarin.

RUU ini berkonsep sapu jagat yang bisa merevisi banyak UU sekaligus.

Pemerintah mengklaim RUU ini dirancang untuk menggenjot pertumbuhan lapangan kerja.

Namun sejak awal dicetuskan, RUU ini sudah mendapat protes dari elemen buruh karena mengandung aturan yang dapat memangkas hak-hak pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha.

Seperti dikutip KabarLumajang.com dari laman KSPI, setidaknya ada 15 poin dari RUU tersebut yang saat ini telah menjadi UU Cipta kerja yang jadi sorotan.

Misalnya, sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum dihilangkan dan tidak Ada denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah

juga tak perlu lagi memberikan surat peringatan tiga sebelum melakukan pemecatan karyawan.

Baca Juga: Manfaat Luar Biasa Kayu Manis untuk Kesehatan dan Kecantikan: Cegah Kepikunan dan Bikin Awet Muda

Di saat demo dan aksi buruh terus dilakukan di berbagai tempat untuk menolak pengesahan ini, pemerintah dan DPR justru terus mengebut pembahasan.

RUU ini pun akhirnya rampung di tengah pandemi, pada rapat Paripurna yang dilaksanakan pada Senin, 5 Oktober 2020.

Dalam rapat itu, tujuh fraksi sepakat mendukung pengesahan RUU ini, yakni Fraksi PDI-Perjuangan, Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, PAN. Dua fraksi yang menolak pengesahan, yakni Demokrat dan PKS, kalah suara, seperti dilansir KabarLumajang.com dari laman Jurnal Gaya.

Meskipun Presiden telah melakukan klarifikasi terkait UU Cipta kerja melalui siaran pers online, namun gelombang aksi penolakan UU ini masih belum surut.

Demo dari kalangan buruh, mahasiswa, bahkan ormas telah berlangsung sejak disahkannya UU tersebut.

Pemerintah sendiri telah menyarankan agar pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja agar melakukan judical Review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: Sosok di Balik Detektif Conan, Aoyama Gosho yang Hanya Tidur 4 Jam dalam Sehari Demi Membuat Komik

2. UU Minerba

UU Kontroversial beritkutnya yakni UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara yang disahkan pada 12 Mei 2020 lalu, merupakan hasil revisi atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Pembahasan 938 poin yang masuk ke dalam Daftar Inventaris Masalah pun terbilang kilat.

Sejak Panja RUU Minerba terbentuk pada 13 Februari, hanya butuh waktu tiga bulan bagi panja untuk menyelesaikan pembahasan.

Pada saat pengambilan keputusan di rapat paripurna, hanya Fraksi Demokrat yang menolak dan meminta ulang pembahasan RUU itu, sedangkan sembilan fraksi lainnya setuju untuk disahkan, seperti dilansir KabarLumajang.com dari laman apbi-icma.

Mengutip situs resmi DPR, dan pemerintah memandang dalam RUU itu peran BUMN menguat, misal, wilayah pertambangan bekas izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dapat sebagai WIUPK dengan penawaran prioritas kepada BUMN.

Namun pengesahan RUU ini bukan tanpa penolakan, dimana seperti dilansir KabarLumajang.com dari laman mongabay.co.id, usai ketuk palu, berbagai kelompok masyarakat sipil dan perorangan mengajukan uji material UU Minerba baru ini.

Data diperoleh dari situs Mahkamah Konstitusi yang terakses pada Senin, 27 Juli menyebutkan sejumlah nama.

Mereka antara lain Helvis dan Mohammad Kholid Syeirazi, mendaftarkan uji materi pada Senin, 20 Juli. Pemerintah Kepulauan Bangka yang diwakili Erzaldi Rosman, mendaftar pada 14 Juli.

Berbagai organisasi, akademisi dan elemen masyarakat sipil juga menyampaikan keprihatinan atas UU Minerba baru ini.

Dilansir dari laman mongabay.co.id juga, Cornelius Gea dari LBH Semarang mengatakan, kalau melihat muatan-muatan dalam UU Minerba ini, benar-benar berusaha menghilangkan prasyarat untuk manusia dan alam buat lanjut hidup.

Menurutnya, sedikitnya, ada 10 permasalahan pertambangan di Indonesia, yakni, lingkungan, keadilan pusat dan daerah, kepatuhan pembayaran royalti (iuran produksi) dari pajak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). Juga korupsi, pascatambang, konflik lahan, kewajiban pelaporan reguler pelaku usaha dan pemerintah daerah, pengawasan, renegosiasi kontrak, dan perizinan.

Baca Juga: Pencairan Dana BLT UMKM Rp2,4 Juta Ternyata Ada 'Kadaluarsa'-nya, Segera Cairkan Sebelum Terlambat!

3. UU Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan

Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Pada akhir Maret lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Penerbitan perpu tersebut dilakukan untuk merespon munculnya kasus Covid-19 di Indonesia sejak 2 Maret 2020.

Terdapat beberapa pasal kontroversial dalam Perppu tersebut.

Salah satunya menurut Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf adalah Bab V Ketentuan Penutup pasal 27 dari ayat (1) sampai (3). Pada pasal 27 ayat (1) tersebut berbunyi: “Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/ atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan pelaksanaan kebijakan pendapatan negara merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara," Seperti dikutip KabarLumajang.com dari dpr.go.id.

Menurut Bukhori, pasal 27 ini membuat pengambil kebijakan menjadi kebal hukum jika dalam pelaksanaan Perppu ini terjadi maladministrasi seperti penyalahgunaan anggaran, pembiayaan yang tidak efektif dan efisien, penggelapan dana, dan sejenisnya.

“Jika kita lebih cermat dalam melihat pasal 27 ini, kita akan menemukan celah yang besar bagi terjadinya tindakan penyalahgunaan anggaran. Sebab, model bantuan seperti ini sangat berisiko menjadi lahan basah bagi pihak yang tidak bertanggungjawab, sebagaimana pola serupa pernah terjadi dalam kasus skandal dana talangan Bank Century,” ujar Bukhori, dalam keterangan tertulis di dpr.go.id.

Aturan di dalam perppu itu kemudian digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Namun, akhirnya disahkan di DPR pada 12 Mei 2020.

Baca Juga: Kalahkan Inter 2-1, AC Milan Kokoh di Puncak Klasemen

4. Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini diatur di dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.

Kenaikan biaya BPJS tersebut pun menuai kritikan lantaran kondisi ekonomi masyarakat saat ini yang masih belum stabil karena terdampak pandemi Corona.

Kebijakan tersebut berlaku setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Pemerintah beralasan kenaikan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Juli 2020 tersebut bertujuan untuk memperbaiki tata kelola asuransi kesehatan.

Dilansir KabarLumajang.com dari Pikiran Rakyat Bekasi, adapun rincian kenaikan iuran BPJS yang telah ditentukan bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000. Kemudian kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000.

 

Sementara itu, untuk peserta kelas III menjadi Rp 42.000, Namun, untuk kelas ini peserta masih bisa membayar dengan tarif lama yakni Rp 25.500 per bulan karena ada bantuan subsidi dari pemerintah sebesar Rp 16.500., sedangkan peserta kelas III baru membayar penuh iuran sebesar Rp 35.000 per 1 Januari 2021.

Sejumlah pihak pun mengkhawatirkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi corona ini, membuat jumlah peserta yang menunggak semakin banyak.

Dilansir KabarLumajang.com dari laman RRI, Ketua Dewan Perwakilan Pusat (DPP) Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Okky Asokawati mengkritik kenaikan tersebut dengan menyebut ada sejumlah norma yang dilanggar atas keputusan kenaikan iuran BPJS ini.

Menurutnya, keputusan tersebut bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) atas Perpres Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

"Saya kembali mengingatkan pemerintah tentang putusan MA atas Perpres 75/2019 membatalkan norma di Pasal 1 dan 2 mengenai jumlah besaran iuran BPJS yang dinilai majelis hakim bertentangan dengan sejumlah aturan di atasnya," kata Okky dalam keterangan tertulis, Rabu ,1 Juli 2020, seperti dikutip KabarLumajang.com dari laman RRI.

Baca Juga: Pekerjaan Unik! Perusahaan Ini Tawarkan Gaji Rp762 Juta Setahun untuk Pegawai Pencicip Biskuit

5. Pilkada 2020

Kebijakan kontroversial yang terakhir adalah tetap menggelar pilkada di tengah pandemi Covid-19.

Komisi II DPR dan pemerintah sepakat Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember.

Padahal, berbagai elemen masyarakat sudah meminta pilkada untuk ditunda karena bisa menjadi klaster penularan Covid-19.

Salah satunya Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Egi Primayogha.

Menurutnya, keputusan tetap menggelar Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid 19 dinilai janggal.

“Sementara Pilkada tetap dijalankan. Kuat diduga terdapat kepentingan lain di balik keputusan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pilkada merupakan ajang transaksi kepentingan bagi para cukong,” kata Egi, seperti diutip dari laman Pikiran Rakyat Bekasi.

Lembaga swadaya masyarakat semisal Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) hingga Indonesia Corruption Watch (ICW) juga meminta pilkada ditunda karena berpotensi menambah penyebaran Covid-19 serta rawan kecurangan, seperti dilansir KabarLumajang.com dari laman Pikiran Rakyat Bekasi.

Bahkan mayoritas masyarakat umum juga ingin pilkada ditunda.

Namun, dilansir KabarLumajang.com dari Warta Ekonomi, Menko Polhukam, Mahfud MD menjelaskan jika keputusan menyelenggarakan Pilkada dalam situasi pandemi diambil setelah debat panjang di ruang publik maupun di rapat resmi.

Baik dari partai politik, pemerintah, KPU, maupun Bawaslu, hingga akhirnya, Pilkada disetujui berlangsung pada Desember mendatang dengan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat.

Mahfud juga menjelaskan bahwa Pilkada tetap dilangsungkan pada tahun ini dengan sejumlah alasan yakni yang pertama, karena mayoritas di berbagai negara, pemilu nasional maupun lokal tetap berlangsung. Meski tengah pandemi.

Kemudian yang kedua, karena belum ada yang dapat memastikan kapan pandemi Covid-19 ini berakhir.***(David Tomi Anggara/Kabar Lumajang)

Editor: Ririn Handayani

Sumber: Kabar Lumajang


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah