Jangan Mencoba Jadi Pelakor, Ini Hukum Menurut Islam, Termasuk Dalam Golongan Berikut

- 1 Maret 2021, 21:35 WIB
Ilustrasi Menikah
Ilustrasi Menikah /Boldsky

SEPUTAR LAMPUNG – Pelakor atau perusak rumah tangga akhir-akhir ini sering kita dengar di media sosial seperti, Facebook, Instagram, Twitter dan media social lainnya. Perusak hubungan rumah tangga kebanyakan didominasi oleh perempuan yang sengaja ingin memiliki laki-laki yang sudah berumah tangga.

Padahal ia sudah mengetahui bahwa laki-laki tersebut sudah memiliki istri dan anak, akan tetapi wanita lain berusaha mendekati dan mengambil hatinya, sehingga terjadi hubungan yang terlarang antara keduanya.

Disisi lain, pelakor atau perusak rumah tangga tidak bisa sepenuhnya disebabkan oleh perempuan, akan tetapi laki-laki bisa menjadi penyebab rumah tangga hancur, karena nafsu seorang lelaki yang mudah tergoda dengan wanita lain dan itu bukan mahramnya.

Baca Juga: 'Dakwahkan' Kewajiban Istri di Masa Iddah, Istri Almarhum Syeh Ali Jaber Tak Keluar Rumah karena Alasan Ini

Kedua pasangan yang tidak bisa menahan pandangannya terhadap lawan jenisnya yang bukan mahramnya, jelas perbuatan yang tidak disukai oleh Rasulullah SAW dan melarang keras seseorang untuk mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain, sehingga menyebabkan rumah tangga tersebut hancur dan akan berimbas pada anak hingga keluarga lainnya, sebagai sabdanya pada kutipan berikut ini:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya,’” (HR Abu Dawud).

Pada hadits tersebut, agama Islam memandang buruk terhadap perilaku yang mengganggu atau merusak rumah tangga yang biasa disebut sebagai pelakor atau pihak ketiga. Apalagi bagi lelaki yang sengaja merebut istri orang lain dari keluarganya hanya untuk memuaskan nafsunya.

Baca Juga: Sinopsis Hercai Selasa, 2 Maret 2021 di NET TV: Hadir Sosok Baru yang Membuat Reyyan Ketakutan

Selain itu, Agama mengecam keras perempuan yang sengaja melakukan upaya merebut dan mencuri sensasi suami orang lain yang jelas-jelas sudah berumah tangga, sebagaimana penjelasan atas hadits berikut ini:

لَيْسَ مِنَّا) أي من أتباعنا (مَنْ خَبَّبَ) بتشديد الباء الأولى بعد الخاء المعجمة أي خدع وأفسد (امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها) بأن يذكر مساوىء الزوج عند امرأته أو محاسن أجنبي عندها (أَوْ عَبْدًا) أي أفسده (عَلَى سَيِّدِه) بأي نوع من الإفساد وفي معناهما إفساد الزوج على امرأته والجارية على سيدها قال المنذري وأخرجه النسائي

Artinya, “(Bukan bagian dari) pengikut (kami, orang yang menipu) melakukan tipu daya dan merusak kepercayaan (seorang perempuan atas suaminya) misalnya menyebut keburukan seseorang lelaki di hadapan istrinya atau menyebut kelebihan lelaki lain di hadapan istri seseorang (atau seorang budak atas tuannya) dengan cara apa saja yang merusak hubungan keduanya. Semakna dengan ini adalah upaya yang dilakukan untuk merusak hubungan seorang laki-laki terhadap istrinya atau merusak hubungan seorang budak perempuan terhadap tuannya. Al-Mundziri mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan An-Nasai,” (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 967).

Keterangan hadits di atas sangat jelas bahwa perusak rumah tangga atau pelakor atau pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga tidak dianggap sebagai pengikut Rasulullah SAW dan umat Islam, karena pelakor termasuk kedalam golongan setan sehingga keharmonisan rumah tangga orang lain menjadi rusak dan hancur sebab ulahnya.

Baca Juga: 'Dakwahkan' Kewajiban Istri di Masa Iddah, Istri Almarhum Syeh Ali Jaber Tak Keluar Rumah karena Alasan Ini

Sementara pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi, Rasulullah SAW dengan lugas melarang perempuan untuk menuntut seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan maksud menguasai apa yang menjadi hak istrinya selama ini. Berikut ini kami kutip hadits riwayat Imam At-Tirmidzi:

عن أبي هريرة يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قال لَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا


Artinya, “Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah SAW, ia bersabda, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya,’” (HR Tirmidzi).

Ulama berbeda pendapat perihal siapa perempuan yang dimaksud. Sebagian ulama memahami bahwa perempuan itu adalah pihak ketiga yang ingin merebut suami orang lain.

Baca Juga: Membangggakan! Indonesia Kembangkan Ina-TEWS yang Bisa Deteksi Tsunami dalam Waktu 5 Menit Setelah Gempa

Pandangan ini dikemukakan oleh Imam An-Nawawi. Sementara ulama lain memaknai perempuan dalam hadits ini sebagai salah seorang istri dari pria yang melakukan poligami. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibnu Abdil Bar. Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Al-Mubarakfuri dalam Syarah Jami’ At-Tirmidzi berikut ini:

قال النووي معنى هذا الحديث نهي المرأة الأجنبية أن تسأل رجلا طلاق زوجته ليطلقها ويتزوج بها انتهى وحمل بن عبد البر الأخت هنا على الضرة فقال فيه من الفقه إنه لا ينبغي أن تسأل المرأة زوجها أن يطلق ضرتها لتنفرد به انتهى قال الحافظ وهذا يمكن في الرواية التي وقعت بلفظ لا تسأل المرأة طلاق أختها وأما الرواية التي فيها لفظ الشرط (يعني بلفظ لَا يَصْلُحُ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَشْتَرِطَ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِىءَ إِنَاءَهَا) فظاهر أنها في الأجنبية ويؤيده قوله فيها ولتنكح أي ولتتزوج الزوج المذكور من غير أن تشترط أن يطلق التي قبلها انتهى

Artinya, “Imam An-Nawawi berkata bahwa makna hadits ini adalah larangan bagi seorang perempuan (pihak ketiga) untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya agar lelaki itu menalak istrinya dan menikahi perempuan pihak ketiga ini. Ibnu Abdil Bar memaknai kata ‘saudaranya’ sebagai istri madu suaminya. Menurutnya, ini bagian dari fiqih di mana seorang perempuan tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan istri selain dirinya agar hanya ia seorang diri yang menjadi istri suaminya. Kata Al-Hafiz, makna ini mungkin lahir dari riwayat dengan redaksi, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya.’ Sedangkan riwayat yang memakai redaksi syarat, yaitu dengan ungkapan ‘Seorang perempuan tidak sepatutnya mensyaratkan perceraian saudaranya untuk membalik tumpah isi nampannya,’ jelas bahwa perempuan di sini adalah perempuan yang menjadi pihak ketiga. Pengertian ini diperkuat dengan redaksi, ‘agar ia (pihak ketiga) dapat menikah’, yaitu menikah dengan dengan suami saudaranya itu tanpa mensyaratkan lelaki tersebut menceraikan istri-istri sebelum dirinya,” (Lihat M Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut: Darul Fikr, tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 369).

Baca Juga: 7 Tips Mudah Agar Anak Hafal Surat Pendek dan Doa Sehari-Hari, Bapak-Ibu Wajib Tahu!

Demikian penjelasan mengenai hukum pelakor atau perusak rumah tangga atau biasa disebut pihak ketiga menurut pandangan Islam, bahwasannya agama jelas mengharamkan upaya perempuan atau pihak ketiga yang dengan sengaja merebut suami orang lain baik ingin menguasai harta atau mencuri hatinya dan merebutnya dari isteri sahnya untuk dinikahi.

Oleh karena itu, dalam berumah tangga dibutuhkan komunikasi yang intensif agar keharmonisan tetap terjaga. Selain itu saling percaya dan menjaga komitmen satu sama lain merupakan kunci utama dalam berumah tangga. ***

Editor: Ririn Handayani

Sumber: ISLAM NU


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah