Profil 7 Pahlawan Revolusi Korban 'Keganasan' G30S PKI, 3 di Antaranya Ditembak di Tempat!

- 3 September 2022, 19:00 WIB
Ilustrasi 7 Pahlawan Revolusi.*
Ilustrasi 7 Pahlawan Revolusi.* /Tangkapan layar kemdikbud.go.id

SEPUTARLAMPUNG.COM - Berikut adalah profil dari 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi yang menjadi korban keganasan peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI).

Seperti diketahui G30S PKI merupakan tragedi paling berdarah bagi militer Indonesia.

7 perwira TNI Angkatan Darat (AD) tewas pada 30 September 1965 hingga 1 Oktober 1965 di Jakarta dan Yogyakarta.

Para perwira TNI AD tersebut bahkan ada yang sudah meninggal di tempat karena di tembak oleh pasukan Cakrabirawa ang dikomandoi oleh Letkol. Untung dari Komando Balation I resimen Cakrabirawa.

Baca Juga: BLT BBM 2022 Sudah Cair, Login cekbansos.kemensos.go.id, Apakah Anda Dapat Bansos Rp600 Ribu dari Kemensos?

Sisanya, diculik, disiksa, dan dibunuh secara brutal di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Jasad mereka kemudian di masukkan ke dalam sebuah sumur tua yang sempit, ditutup dengan sampah pohon karet dan tanah. Kemudian di atasnya ditutupi pohon pisang utuh untuk menutup jejak.

Jasad ke-7 perwira ini kemudian ditemukan pada 3 Oktober, diangkat pada 4 Oktober, dan dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965.

Ke-7 perwira TNI tersebut kini lebih dikenal sebagai para Pahlawan Revolusi, siapa sajakah mereka? Berikut profil dan kisahnya:

Baca Juga: Jam Tayang Orphan First Kill di Bioskop XXI Ciputra, Lenmarc, PTC, dan Transmart Surabaya 3 September 2022

1. Letnan Jenderal (Letnan.) Ahmad Yani

Ahmad Yani lahir pada 19 Juni 1922. Saat itu dia sudah menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi.

Pada saat kejadian G30S PKI, Ahmad Yani sedang berada di rumah. Dia baru saja selesai menemui tamunya, Jenderal Basuki Rahmat, Komandan Divisi di Jawa Timur.

Ketika pasukan Cakrabirawa datang ke rumahnya dan mengatakan bahwa dirinya disuruh menghadap Presiden RI, Ahmad Yani meminta waktu untuk mandi dan berganti baju.

Namun, pasukan yang menemui Ahmad Yani menolak, membuat Ahmad Yani marah dan menamparnya. Dia kemudian mencoba untuk menutup pintu rumahnya.

Tak terima salah satu pasukan melepaskan peluru ke arahnya, membunuh secara spontan. Jasadnya kemudian dibawa ke Lubang Buaya.

2. Mayor Jenderal (Mayjen) Raden Soeprapto

Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar.

Mayjen. R. Soeprapto saat itu menjabat sebagai Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi.

Pasukan penculik G30S PKI sampai ke kediamannya pada pukul 04.30 WIB. Dimana dia masih mengenakan baju tidur dan sarung saat rombongan pasukan itu datang.

Dia diminta menemui Presiden Soekarno saat itu juga, sebagai prajurit yang patuh, Soeprapto kemudian langsung mengiyakan dan ikut tanpa curiga.

Ternyata dia diculik dan disiksa di Lubang Buaya dengan tangan terikat.

Baca Juga: Daftar TOP 3 SMA Terbaik di Pasuruan Jawa Timur yang Masuk TOP 1000 Nasional LTMPT Terbaru 2022

3. Mayjen. Mas Tirtodarmo Haryono

MT Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924, dia menjabat di Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan.

Saat pasukan Cakrabirawa datang dan meminta Haryono untuk ikut menemui Presiden Soekarno, istri Haryono memiliki firasat buruk. Dia segera melaporkan hal itu kepada Haryono dan meminta agar suaminya tak usah pergi.

Istri Haryono kemudian menemui kembali pasukan Cakrabirawa dan meminta mereka untuk kembali lagi pada pukul 08.00 WIB.

Haryono yang curiga meminta sang istri menyelamatkan diri bersama dengan anak-anak mereka ke kamar sebelah. Pasukan penculik ini pun segera melepaskan peluru ke arah kamar Haryono yang terkunci dan gelap.

Sigap, Haryono langsung tiarap ke lantai. Saat penyerang masuk ke kamarnya dengan menggunakan kertas pembakaran, dia berusaha untuk merebut senjata yang dibawa oleh si penyerang.

Nahas, dia gagal dan kemudian lari keluar pintu dengan bingung. Belum sempat menyelamatkan diri.

Para pasukan penculik kemudian menembak mati dirinya, tubuhnya, diseret melalui kebun, dan jasadnya dibawa ke salah satu truk yang menunggu di sana.

4. Mayjen. Siswondo Parman

Lahir di Wonosobo, 4 Agustus 1918 dan S. Parman menduduki jabatan Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen.

Sebenarnya, sebagai seorang perwira tinggi di bidang Intelijen, S. Parman telah mendapatkan peringatan terkait kemungkinan adanya gerakan komunis.

Pada 30 September 1965, nahasnya, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah S. Parman di Jalan Syamsurizal No. 32.

Dia disergap pada pukul 04.00 WIB dimana istrinya sudah sempat menanyakan tentang surat otorisasi pemanggilan S. Parman oleh Soekarno.

Pasukan penculik ini bahkan dengan berani masuk kamar tidur S. Parman saat dirinya sedang berganti pakaian.

S. Parman sendiri sudah meminta istrinya untuk menghubungi Jenderal Ahmad Yani, namun sambungan telepon di rumahnya ternyata telah diputus.

Baca Juga: LIVE STREAMING Tottenham vs Fulham Liga Inggris, Sabtu 3 September 2022: Nonton di Link SCTV

5. Brigadir Jenderal (Brigjen) Donald Isaac Panjaitan

Lahir di Balige, 9 Juni 1925 dan D.I Panjaitan waktu itu menjabat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik.

Pada tengah malam tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota G30S PKI memaksa masuk ke rumah Panjaitan di Jalan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

D.I. Panjaitan awalnya tidak melawan dan setuju ikut para pasukan G30S PKI dengan berpakaian rapi, resmi, lengkap dan siap menemui Presiden Soekarno.

Namun mendadak pasukan penculik ini malah menembaki barang-barang yang ada di rumahnya hingga hancur.

D.I. Panjaitan kemudian langsung turun dari kamarnya di lantai 2 dan segera menemui para penculik. Dia kemudian berusaha melawan namun dia ditembak di bagian kepala di halaman rumahnya dan jasadnya langsung dibawa pergi.

6. Brigjen Sutoyo Siswomiharjo

Lahir di Kebumen, 28 Agustus 1922 dan menjabat sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat.

Sutoyo berhasil diculik oleh pasukan Cakrabirawa yang dipimpin oleh Sersan Mayor Surono.

Pasukan ini masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping rumah.

Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci, masuk ke rumah dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden Soekarno.

Sutoyo masih mengenakan kimono tidurnya saat para penculik ini menjemput paksa dirinya.

Baca Juga: Jadwal Tayang Bioskop Film Miracle in Cell No 7 Versi Indonesia, Simak Sinopsisnya yang Bikin Haru

7. Lettu CZI Pierre Andries Tendean, Ajudan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution

Pierre Andries Tendean sebenarnya bukan target dari G30S PKI, bahkan saat rumah A.H Nasution digerebek oleh pasukan Cakrabirawa, dia sebenarnya sudah bebas tugas dan sedang beristirahat.

Pierre yang sedang tidur kemudian dibangunkan oleh putri sulung AH. Nasution, yakni Yanti Nasution.

Yanti membangunkan Pierre usai dirinya mendengar suara tembakan dan keributan yang luar biasa. Pierre pun dengan sigap segera berlari ke bagian depan rumah.

Di depan rumah dia kemudian ditangkap oleh gerombolan G30S PKI yang dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua (Pelda) Djaharup.

Suasana yang gelap membuat gerombolan G30S PKI tidak dapat melihat dengan jelas wajah Pierre Tendean dan bertanya apakah dirinya adalah A.H. Nasution, tanpa ragu, dia menjawab bahwa dialah Jenderal Nasution, meskipun dirinya tahu apa risikonya.

Tindakan itu dia lakukan agar sang Jenderal bisa selamat. Beruntung, pengorbanan Pierre Tendean tak sia-sia, Jenderal AH. Nasution berhasil menyelamatkan diri dengan lompat ke Kedutaan Besar Irak yang berada di samping rumahnya.

Itulah profil dan kisah lengkap 7 pahlawan revolusi Indonesia, yang mati demi menjaga kehormatan pertahanan Indonesia.***

Editor: Nur Faizah Al Bahriyatul Baqir

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah