Allah seakan hendak menyatakan bahwa manusia yang fitri itu adalah yang mau melihat persoalan masyarakatnya secara empatik, kemudian berupaya mengurainya untuk terciptanya tatanan kehidupan yang adil dan berkesejahteraan.
Mereka inilah pemilik agama yang benar, hanifiyyah wa al-samhah yang santun, toleran, dan penuh kasih sayang kepada sesama.
Allah Akbar x3 Walillahilhamdu, Hadirin Jamaah shalat Idulfitri, Rahimakumullah.
Kedua: Disadari bahwa fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, pengaruh lingkungan, pendidikan, bacaan dan tontonan, bahkan asupan makanan dan minuman.
Maka, agar fitrah itu tetap terpelihara dan terus bersemi, hendaknya manusia mengacu pada pola kehidupan yang Islami. Yaitu, pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai spiritualitas dan akhlak mulia.
Untuk itu, segala kebiasaan baik yang telah kita jalankan di bulan suci Ramadan, hendaknya tetap dirawat dan ditingkatkan agar menjadi tradisi yang mulia dalam diri, keluarga dan masyarakat.
Segala aktifitas ibadah yang kita laksanakan hendaknya tidak terjebak pada rutinitas ritual yang kering makna.
Ramadan adalah kampus kehidupan manusia. Sukses Ramadan sesungguhnya tidak diukur pada saat sedang berlangsung, akan tetapi justru dilihat dari sebelas bulan yang akan dijalaninya ke depan.
Adakah ia mampu melakukan perubahan dan perbaikan dirinya menjadi pribadi muttaqin? Adakah ia tetap konsisten menjaga amaliah kebajikan selama Ramadan untuk tegaknya kemaslahatan dan keluhuran diri serta lingkungannya?