Punya Sistem Penanggalan Sendiri, Ini Sejarah Perumusan Kalender Hijriah dan Peristiwa Penting yang Menyertai

- 5 April 2021, 09:00 WIB
Ilustrasi Tahun Baru Islam.
Ilustrasi Tahun Baru Islam. /

SEPUTAR LAMPUNG - Sebagai agama yang kaffah, Islam memiliki sistem penanggalan sendiri yang dikenal dengan kalender Hijriah.

Kalender Hijriah inilah yang menjadi patokan kapan permulaan tahun dimulai, kapan pelaksanaan sejumlah ibadah seperti ramadhan, haji, dan sebagainya.

Karena memiliki sistem penanggalan sendiri, maka perayaan umat Islam setiap tahunnya mengalami pergeseran dari jadwal tahun sebelumnya saat dilihat di kalender Masehi.

Rupanya, tak hanya memiliki sistem sendiri, kalender Hijriah juga memiliki sejarah penting di balik perumusannya.

Baca Juga: Kasus Pertama di Dunia: Seorang Bayi di Irak Lahir dengan Tiga Alat Kelamin, Dokter Kebingungan

Hal ini menjadi pengetahuan yang penting bagi kaum muslim terutama generasi muda sehingga lebih memahami dan bangga dengan agamanya.

Dikutip dari laman suaramuhammadiyah, berikut sejumlah intisari dari sejarah perumusan kalender hijriah yang disampaikan oleh Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butarbutar, Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Seperti diketahui, tahun baru dalam Islam dimulai dengan bulan Muharram yang merupakan bulan pertama dalam urutan bulan-bulan Kalender Hijriah.

Bagi umat Islam, tahun baru hijriah memiliki arti penting di antaranya sebagai momentum perubahan. Secara historis, hijrah Nabi Saw terjadi pada bulan Rabiul Awal. Namun seperti disepakati kaum Muslimin, kalender Islam dimulai dari bulan Muharram dan oleh karena itu sejak tanggal satu bulan ini disebut tahun baru hijriah.

Selain itu, bulan Muharram juga bagi umat Islam memiliki arti penting karena pada bulan ini terdapat satu momen ibadah yaitu puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram.

Baca Juga: Luruskan Rumor, Kasad Andika Perkasa Beri Penegasan Soal Isu Pungutan Liar Penerimaan Calon Prajurit TNI AD

Dalam hierarkinya, bulan Muharram (bersama Zulkaidah, Zulhijah dan Rajab) dikategorikan sebagai ‘bulan-bulan haram’ yaitu bulan-bulan dilaksanakannya ibadah haji.

Selain Muharram, berikut bulan-bulan dalam kalender Islam secara berurutan yakni: Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Tsani, Jumadil Awal, Jumadil Tsani, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah dan Zulhijah.

Muharram sendiri secara harfiah berarti sesuatu yang dicegah atau dilarang. Disebut demikian karena pada waktu itu dilarang melakukan aktifitas berperang. Seperti dimaklumi, tradisi perang adalah rutinitas nan rutin dilakukan bangsa Arab pada zaman pra Islam.

Dalam tradisi zaman silam, bulan Muharram adalah bulan yang dihormati dan diagungkan, dimana banyak para raja (pada zaman itu) tidak melakukan aktifitas apapun melainkan duduk santai di singgasana (kerajaan).

Selain peristiwa Asyura, terdapat banyak peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini, antara lain bulan diterimanya taubat Nabi Adam, bulan dilahirkannya Nabi Musa, bulan dimana dingin (sejuk)nya api di tangan Nabi Ibrahim, bulan diangkatnya azab terhadap kaum Nabi Yunus, bulan kembalinya penglihatan Nabi Ya’kub, bulan dikeluarkannya Nabi Yusuf dari penjara, bulan diberinya Nabi Sulaiman tahta dan singgasana, dan sederet peristiwa lainnya.

Masih pada bulan Muharram tepatnya tanggal 17, konon adalah peristiwa ketika pasukan bergajah yang di pimpin Abrahah datang menyerbu Ka’bah, dimana seketika itu juga Allah mengutus burung Ababil dan menghancurkan Abrahah dan pasukannya.

Baca Juga: Waspada, Tahukah Anda 4 Kebiasaan Ini Ternyata Bisa Sebabkan Gangguan Impotensi Dini, Nomor 1 Sering Diabaikan

Di zaman modern, bulan Muharram senantiasa dikaitkan dengan tahun baru Islam.

Ditilik dari sejarahnya, perumusan tahun baru ini sendiri dicetus sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab yaitu pada tahun 17 H. Seperti diketahui, pada zaman pra Islam bangsa Arab belum memiliki sistem tahun (penanggalan) resmi dan terpadu untuk digunakan antar kabilah. Pada umumnya masyarakat ketika itu memberi penanggalan berdasarkan berbagai peristiwa atau mengaitkan suatu peristiwa dengan angka tertentu. Kelahiran Abu Bakar misalnya ditetapkan dan disepakati tiga tahun setelah tahun Gajah. Tahun Gajah sendiri disepakati merupakan tahun kelahiran baginda Nabi Saw. Penggunaan berbagai peristiwa sebagai dokumentasi penanggalan ini diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa bangsa Arab ketika itu belum mampu baca tulis, sehingga praktis kejadian suatu peristiwa kerap dijadikan standar.

Berbagai literatur sejarah menyebutkan bahwa di era Islam penanggalan dengan penomoran baru diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab, tepatnya pada tahun 17 H. Penanggalan dengan penomoran ini belakangan disepakati dan diberi nama dengan “Kalender Hijriah”. Disebut demikian karena ia didasarkan pada tahun hijrahnya baginda Nabi Muhammad Saw dan sahabat dari kota mulia Mekah ke kota bersinar Madinah. Usulan permulaan penanggalan ini sendiri merupakan usulan dari sahabat Ali bin Abi Thalib.

Ali Hasan Musa menuturkan, ide pembuatan kalender ini muncul sebagai respons terhadap ketidakjelasan berbagai dokumentasi (surat menyurat) ketika itu. Dengan berbagai usulan, akhirnya disepakati awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah, dinamakanlah kalender tersebut dengan “Kalender Hijriah”. Dan sejak zaman Khalifah Umar itu langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H yaitu tahun ketika Khalifah Umar memimpin.

Philip K. Hitti dalam karyanya “History of the Arabs” menjelaskan secara luas proses hijrahnya Rasulullah Saw dan sahabat dari Mekah ke Madinah (Yatsrib). Dengan merujuk Al-Thabari dan Al-Mas’udi, Hitti mengemukakan setelah tujuh belas tahun dari masa hijrah itu, khalifah Umar menetapkan saat terjadinya peristiwa hijrah sebagai awal tahun Islam atau tahun kamariah. Dan dalam penerapannya bulan Muharram dijadikan sebagai bulan pertama sekaligus dijadikan standar tahun baru Islam.*** 

Editor: Ririn Handayani

Sumber: Suara Muhammadiyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah