Tapi waktu adalah rahasia Allah yang muskil bisa dipecahkan apalagi menyangkut tentang kelahiran dan kematian.
Waktu adalah relatif, begitulah kata orang-orang yang arif dan akhirnya kami menerimanya dengan hati yang lapang sebab kami bisa menemukan banyak sekali petunjuk yang terang.
Dalam rentang 14 Hari yang sejujurnya sangat melelahkan namun kami pun mendapatkan banyak pelajaran dan menerima kearifan tentang hidup Eril yang secara kasat mata rasanya terlalu singkat, tapi setelah dicermati ternyata kehidupannya sangat penuh manfaat.
23 tahun mungkin belum cukup untuk menghasilkan karya-karya yang besar namun terbukti ternyata memadai untuk menjadi manusia yang dicintai dengan akbar .
Kami belajar tentang hidup yang tidak semata terdiri selamanya hari tapi tentang hela nafas yang dipakai berbuat baik walaupun kecil dalam sehari-hari.
Kami mengikhlaskan Eril pergi karena kami akhirnya menyadari bahwa Allah telah mencukupkan seluruh amal-amalnya untuk menutupi kemungkinan bertambah kehilafannya. Mungkin akan berat tapi kami sudah menyiapkan hati kalau kami tidak akan pernah melihat jasadnya untuk terakhir kali.
Bukankah Eril lahir di New York berada jauh di seberang. Mengapa tidak, jika ia wafat di Swiss yang jauh tidak berbilang. Bukankah tiap jengkal tanah adalah milik Allah yang menentukan segala pergi dan pulang.
Luncuran doa yang dipanjatkan dari berbagai penjuru negeri adalah limpahan pertanda yang lebih dari cukup bagi kami untuk yakin barangkali Allah yang menghendaki agar kepulangannya disambut baik oleh langit dan bumi.