Perkataan ar-Rifa’i “bi la kaif” adalah tegas menafikan jism (berdimensi fisik), ruang, bentuk, gerak, diam, menempel, berpisah, dan duduk dari Allah ta’ala. Jadi al-Kaif mencakup sifat apapun di antara semua sifat makhluk.
Dengan demikian, orang yang meyakini bahwa Allah ada tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk dan tanpa tempat, maka ia telah mencapai batas akhir yang bisa dicapai oleh seorang hamba dalam mengenal Allah tabaraka wata’ala.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Sedangkan mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan mengetahui sifat-sifat yang wajib bagi para nabi, hal-hal yang mustahil bagi mereka dan perkara yang jaiz bagi mereka.
Beriman kepada Allah ta’ala wajib disertai dengan beriman terhadap kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya, menggabungkan antara dua kalimat syahadat dan meyakini makna keduanya mutlak harus dilakukan untuk selamat dari kekekalan yang abadi di neraka.
Karena orang yang meyakini bahwa Allah ada dan tidak beriman kepada Muhammad, maka dia bukan mukmin dan bukan muslim.
Hal itu berdasarkan Al-Qur’an surat al-Fath ayat 13 seperti yang kami baca di atas. Hal ini tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang musyrikin: “Sungguh kami akan diberi di akhirat sesuatu yang lebih bagus dari yang diberikan kepada kalian.” Allah ta’ala berfirman menegaskan kedustaan mereka:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (القلم: ٣٥)
Maknanya tidak sama menurut Allah antara orang-orang yang beriman kepada Tuhan mereka dan orang-orang kafir. Ini adalah istifham yang menunjukkan kepada mereka kesalahan apa yang mereka katakan, sekaligus mengandung celaan dan pengingkaran yang keras kepada mereka.