Sesungguhnya di antara nikmat yang Allah berikan kepada seorang hamba adalah ia berusaha untuk mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Di dalam kehidupan sehari-harinya, ia berusaha untuk mencintai Rasulullah dengan sepenuh hatinya. Dan dia wujudkan dalam praktek kehidupannya.
Seorang muslim yang menyatakan dirinya “asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah,” dia wajib untuk senantiasa mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Cinta Rasul tiada lain adalah dengan ittiba’. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: ‘Jika kalian memang mencintai Allah, maka ikuti aku (yaitu Rasulullah) niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Mengikuti Rasulullah bukan hanya dalam perbuatannya, namun juga mengikuti Rasulullah disaat Rasulullah meninggalkan sesuatu perbuatan, walaupun memang tidak setiap yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tinggalkan itu menjadi tidak boleh kemudian setelahnya.
Karena para ulama telah memberikan perincian bahwa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tinggalkan karena belum ada pendorongnya dan belum ada penyebabnya. Maka ketika penyebab atau pendorong itu muncul dan maslahatnya besar, maka itu boleh dilakukan.
Seperti contohnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di zaman beliau tidak tidak mengajarkan ilmu musthalah hadits, tidak punah ilmu bahasa Arab (ilmu nahwu dan sharaf), karena di zaman itu belum ada pendorongnya, belum dibutuhkan oleh para sahabat.
Karena para sahabat orang-orang yang sangat alim tentang bahasa Arab, tentang ilmu ushul fiqih dan yang lainnya.