Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي جَعَلَ هَذَا الْيَوْمَ عِيْدًا لِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَخَتَمَ بِهِ شَهْرَ الصِّيَامِ لِلْمُخْلِصِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الملك الحق المبين. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اشرف الانبياء والمرسلين. اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ .قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah,
Allah adalah sumber segala pujian, di pagi hari ini, kita berhimpun untuk bersama menginsyafi segala kenistaan. Allah adalah penggerak hati, maka tanpa izin-Nya tiadalah kuasa manusia melangkahkah kaki demi menggapai ridha ilahi, di hari fitri ini. Kepada Allah kita haturkan syukur dalam laku kehidupan dan tak hanya dalam tutur.
Nabi Muhammad adalah cahaya kehidupan. Kepadanya kita panjatkan shalawat dan salam. Juga kepada para sahabatnya yang mengikrarkan kesetiaan dalam perjuangan menegakkan ajaran Islam. Kepada Nabi Muhammad kita memohon syafaat. Pada hari ketika lisan hanya mampu tercekat hebat. Hanya tangan dan kaki yang bersaksi atas apa yang diperbuat. Dari syafaat, kita gantungkan harap untuk selamat di akhirat.
Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,
Dalam salah satu kitabnya yang masyhur, Fihi ma Fihi, Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar yang lahir di Samarkand pada tahun 604 Hijriyah atau 1207 Masehi menuturkan sebuah kisah tentang seorang penguasa di kota Rum. Pada suatu saat sang penguasa berdialog dengan Jalaluddin Rumi, mungkin juga disaksikan oleh sejumlah pengikut sang penguasa. Ia memulai dialog dengan mengucapkan,
“Pada zaman dahulu orang kafir menyembah berhala dan bersujud kepadanya. Kini, kita melakukan hal yang sama. Kita pergi dan bersujud kepada bangsa Mongol. Kita melayani mereka. Namun, di luar pelayanan yang kita lakukan kepada mereka itu, dalam hati kita masing-masing, ternyata kita memiliki berhala-berhala lainnya, seperti ketamakan, hasrat nafsu, dendam dan kedengkian yang sadar atau tidak, semua kita patuhi… Lalu masih pantaskah kita mengaku sebagai Muslim?”
Baca Juga: Kapan Waktu Terbaik Olahraga Saat Puasa? Simak Penjelasan dr Saddam Ismail, Jangan Makan Berlebihan