Menyibak Fenomena Lintang Kemukus si 'Fireball' Menurut Astrophile dan Legenda Keris Majapahit

- 12 Oktober 2020, 08:45 WIB
ILUSTRASI meteor.*
ILUSTRASI meteor.* /PIXABAY/

SEPUTAR LAMPUNG - Sikap kritis anak-anak di masa sekarang harus banyak diimbangi orang tua dengan banyak membaca.

Terutama untuk sejumlah fenomena yang memiliki irisan antara ilmu pengetahuan dan pemahaman tradisional yang mendekati mistis dan mitos.

Ini diperlukan agar cakrawala pengetahuan terbuka lebar, dan mereka bersifat open mind terhadap segala hal yang terjadi. Termasuk dalam fenomena lintang kemukus yang baru-baru ini cukup menghebohkan masyarakat.

Menarik apa yang kemukakan oleh Ni Nyoman Dhitasari, Astrophile (penyuka/penghobi astronomi), mengenai cerita dan makna Lintang Kemukus atau Komet Halley.

Menurutnya, ia mulai tertarik pada astronomi karena sering mendengar cerita ketakutan yang didengarnya terkait kemunculan Lintang Kemukus.

Baca Juga: Hidroponik Semakin Digemari: Cara Bertanam yang Praktis, Lebih Sehat, dan Bisa Menghasilkan Uang

"Sebagai anak SD yang masih belum banyak memahami sains dan belum bisa berpikir kritis, saya menyerap setiap informasi tanpa filter, terutama informasi yang bombastis (termasuk Lintang Kemukus)," tuturnya sebagaimana dikutip dari laman langitselatan.com melalui IsuBogor.com dalam artikel berjudul "Fenomena Lintang Kemukus Menurut Astrophile, Legenda Keris Majapahit dan Istilah 'Berambut Panjang'".

Menurutnya, salah satu informasi bombastis yang diterima saat itu adalah bahwa terlihatnya komet di langit adalah suatu pertanda akan terjadinya hal-hal yang buruk, misalnya wabah penyakit, kematian, dan bencana.

Sebagai anak kecil tentunya, kata dia, cerita tentang Lintang Kemukus, membuatnya takut keluar rumah ketika malam hari.

"Untunglah orang tua saya memiliki banyak cara dan literatur untuk menjelaskan hal ini kepada saya, tentunya dengan bahasa yang dapat dipahami oleh seorang anak kelas satu SD dan dengan gambar-gambar yang mendukung," ungkapnya.

Baca Juga: Dikenal sebagai Burung yang Pintar, Kawanan Kuntul Tiba-tiba Cari Makan di Tumpukan Sampah, Ada Apa?

Rasa takut masa kecilnya itu, lantas hilang begitu, ia mengetahui apa Lintang Kemukus yang sebenarnya, namun rasa penasarannya tetap ada.

"Apa yang membuat masyarakat atau teman-teman saya ketika itu mengatakan bahwa kemunculan komet adalah pertanda buruk? Maka mulailah saya mencari tahu asal-usul ceritanya," ungkapnya.

Sebagai catatan, ia juga mengaku pernah mendengar berbagai versi legenda-legenda masyarakat Jawa mengenai komet. Sudah banyak, ia mengulas tentang benda-benda luar angkasa dari berbagai perspektif.

Dalam tulisannya yang bertutur berjudul "Komet van Java: Lintang Kemukus dan Legenda Keris Pusaka Majapahit" Dhita sempat membahas dari sisi legenda Keris Pusaka Kerajaan Majapahit hingga Fakta Ilmiah atau Sains.

Baca Juga: HATI-HATI! Hoaks Kartu Prakerja VIP Beredar di WhatsApp, Pastikan Hanya Login di www.prakerja.go.id!

Legenda Keris Pusaka Kerajaaan Majapahits

Dalam bahasa Jawa komet dikenal dengan nama Lintang Kemukus, yang berarti bintang berekor. Tulisan ini akan membahas legenda komet yang berkaitan dengan sejarah Indonesia, yaitu sejarah Kerajaan Majapahit.

Kita semua tentunya pernah mendengar tentang Kerajaan Majapahit dari pelajaran sejarah kuno Indonesia. Kerajaan Majapahit (1293 – 1527) adalah salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.

Wilayah kerajaan Majapahit sangat luas, yang bila dilihat dari kacamata geografi modern meliputi Indonesia secara keseluruhan, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Timor Leste dan Filipina.

Majapahit mencapai masa kejayaan di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan patihnya yang terkenal yaitu Gadjah Mada.

Dalam kehidupan bernegara di Majapahit, kerajaan tersebut terpecah menjadi dua golongan, yaitu golongan atas yang terdiri dari anggota kerajaan, keluarga bangsawan dan orang-orang kaya, serta golongan bawah yang terdiri dari rakyat jelata.

Baca Juga: Bahaya Minum Sambil Berdiri, Bisa Sebabkan Masalah Kesehatan Serius! Agama pun Melarangnya

Perbedaan dan perselisihan di antara kedua golongan ini begitu besar sehingga mengancam persatuan dan kesatuan Majapahit ketika itu. Untuk mengatasi masalah ini, dipanggilah sekitar seratus orang Empu (orang bijak, pembuat keris) untuk membuat satu keris sakti untuk mempersatukan bangsa.

Keris istimewa tersebut dibuat dari bahan yang diambil dari berbagai daerah dan dinamai Kyai Condong Campur. Nama tersebut dipilih sesuai dengan tujuannya.

Kata “condong” dalam bahasa Jawa kuno (yang mungkin sudah diserap menjadi bahasa Indonesia) berarti “cenderung/lebih mendekati/mengarah pada…”. Sementara “campur” berarti “menjadi satu” atau “persatuan”. Dengan demikian, arti nama keris ini kurang lebih adalah “pembawa persatuan”.

Masyarakat Majapahit (dan masih diyakini oleh masyarakat Jawa masa kini) meyakini bahwa setiap keris pusaka memiliki kekuatan spiritual dan supernatural, bahkan memiliki karakternya sendiri-sendiri.

Baca Juga: Update Harga Emas ANTAM di Pegadaian Senin 12 Oktober 2020

Demikian pula dengan keris Kyai Condong Campur. Keris tersebut diharapkan memiliki karakter pemersatu, namun betapa terkejutanya para Empu pembuat keris ketika mengetahui bahwa Kyai Condong Campur memilki karakter yang jahat dan ingin menguasai.

Pada masa itu, setiap golongan memiliki keris yang menjadi simbol golongan mereka. Golongan Atas memiliki keris pusaka yang bernama Keris Sabuk Inten (nama yang berarti “ikat pinggang permata/intan”) dan golongan bawah memiliki keris pusaka bernama Keris Sengkelat.

Nama “sengkelat” diyakin berasal kari kata-kata Jawa “sengkal atine” yang berarti “hati yang berat/lelah/kecewa”, dikaitkan dengan kondisi hati masyarakat kelas bawah yang penuh kekecewaan atas kondisi kehidupan mereka yang berat.

Keris Sabuk Inten merasa terancam dengan kehadiran Keris Kyai Condong Campur, maka Kersi Sabuk Inten menantang Keris Kyai Condong Campur untuk bertarung.

Setelah melalui pertarungan yang sengit, Keris Sabuk Inten kalah dalam pertarungan tersebut. Mengetahui karakter jahat Keris Kyai Condong Campur, Keris Sengkelat akhirnya bertarung melawan Kyai Condong Campur meskipun sebenarnya ia segan bertarung.

Di luar dugaan, Keris Sengkelat berhasil mengalahkan Kyai Condong Campur yang terkenal sakti.

Baca Juga: Timnas U19 Indonesia Menang Telak 4-1 atas Makedonia Utara, Jack Brown Sumbang Dua Gol

Keris Kyai Condong Campur amat murka kareka kekalahannya. Dalam kemarahannya Keris Kyai Condong Campur bersumpah bahwa ia akan kembali setiap 500 tahun untuk membawa ontran-ontran (bahasa Jawa, yang berarti “kekacauan/bencana”) ke tanah Majapahit.

Setelah mengucapkan sumpahnya, Keris Kyai Condong Campur melesat ke angkasa, meninggalkan jejak cahaya terang.

Inilah yang dikenal orang Jawa/Majapahit sebagai Lintang Kemukus, bintang berekor.

Mungkin inilah sebabnya masyarakat Jawa hingga saat ini masih percaya bahwa penampakan komet di langit adalah pertanda akan adanya bencana.

Kisah tersebut memang termasuk kategori legenda atau mitos. Namun entah hanya karena kebetulan atau memang ada kebenaran di dalam cerita tersebut, perpecahan di dalam kerajaan Majapahit tidak pernah terjembatani.

Perpecahan ini, tentunya dengan kontribusi berbagai faktor lain dalam kondisi politik dan kemasyarakatan kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan di sekitarnya pada masa itu, akhirnya menjadi sebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Semuanya kami serahkan kembali kepada para pembaca.

Baca Juga: Kabar Baik, Pemerintah Pastikan Kartu Prakerja Ada Lagi! Persiapkan Diri Anda, Simak Persyaratannya

Komet: Fakta Sains

Sebagai pembuka, mari kita bahas secara singkat mengenai komet dari sudut pandang ilmiah. Kata komet berasal dari bahasa Latin cometa atau cometes, suatu istilah yang ternyata diturunkan dari bahasa Yunani.

Arti kata cometa atau cometes adalah “berambut panjang”. “Rambut panjang” dalam penamaan ini merujuk pada “ekor” atau cahaya terang memanjang yang terlihat dari Bumi ketika komet melintas.

Secara sederhana, komet adalah suatu benda langit yang berukuran kecil yang juga mengelilingi Matahari. Nukleus atau inti dari komet terdiri dari batu keras, debu, es (es air, H2O), dan gas-gas beku seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), metan (CH4) dan ammonia (NH3).

Ketika komet berada dalam posisi terjauh dari Matahari (aphelion) komet tak ubahnya sebuah batu berlapis es dan gas beku biasa. Komet tidak memiliki cahayanya sendiri, dan bahkan tidak berekor sebagaimana ketika komet mendekati Matahari dan melintasi Bumi. Karena ukurannya yang kecil, komet dalam kondisi seperti ini sulit untuk diamati dari Bumi.

Baca Juga: 250 Juta Sampai 1 Miliar Burung Mati Setiap Tahunnya karena Masalah 'Sepele' Ini, Masyarakat Resah!

Namun ketika komet mendekati Matahari (perihelion) temperatur permukaan komet akan meningkat seiring dengan meningkatnya energi panas matahari yang diterima oleh komet.

Akibatnya, bahan-bahan beku mulai mencair dan menguap, membentuk semacam lapisan “awan” di sekeliling nukleus komet yang disebut coma (yang berarti ‘rambut’).

Didorong oleh tekanan radiasi Matahari dan angin Matahari, bahan-bahan volatil ini terdorong ke luar dengan arah yang menjauhi Matahari, membentuk ekor.

Dalam situasi-situasi tertentu, kita dapat mengamati fenomena jet di permukaan komet, dimana pemanasan yang tidak merata pada permukaan komet mengakibatkan gas-gas yang baru terbentuk “meledak” dari permukaan komet.

Perlu kita catat bahwa pada dasarnya komet memiliki dua ekor, yaitu ekor debu dan ekor gas. Meskipun kedua ekor ini sama-sama menjauhi Matahari, namun keduanya memiliki sudut arah yang berbeda.

Ekor gas umumnya lurus, searah dengan arah angin Matahari sesuai posisi komet saat itu, namun ekor debu akan sedikit lebih melengkung.***

Editor: Ririn Handayani

Sumber: Isu Bogor


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah