Keputusan tegas diambil oleh Khalifah Umar RA: rombongan harus putar haluan, kembali ke kota suci. Tidak ada seorangpun yang ikut serta diijinkan meneruskan langkah. Semua harus ikut serta kembali dengan selamat.
Tapi sahabat besar Abu Ubaiydah menyanggah. Ia berpendapat lain, ijtihadnya mengatakan kalau ini bukan alasan tepat untuk pulang. “Adakah engkau hendak lari dari takdir Allah, hai amirul mukminin?” Kata beliau.
“Andai saja bukan engkau yang bilang begitu…” Ujar sahabat Umar dengan nada agak mengancam, mungkin ditunjukkan pada rombongan lain. Sebab sahabat Abu Ubaydah RA adalah as-sâbiqunal awwalûn. Gelar langka para pemeluk Islam paling awal, yang oleh sejarawan Ibn Hisyam jumlahnya hanya dicatat empat puluh orang.
Khalifah Umar RA melanjutkan dengan kata-katanya yang amat terkenal itu: hingga mirip prasasti. “Ya, benar, kita lari dari takdir Allah, menuju takdir Allah.”
“Bagaimana pendapatmu, jika kau bersama seekor unta berada di jurang yang punya dua sisi, satu sisi adalah tempat yang subur, dan sisi lain adalah tempat tandus? Bukankah kalau kau gembalakan unta itu di lembah yang subur itu adalah takdir Allah? Dan bila kau gembalakan di tempat yang tandus juga adalah takdir Allah?” Tutur khalifah Umar RA menafsiri kalimatnya. Dan semua orang sepakat.
===
Bicara takdir adalah ibarat mengurai benang kusut. Ia menghadirkan banyak spekulasi di benak banyak orang. Ada yang menafsirkan begini, ada yang menafsirkan begitu. Ada yang memandangnya macam ini, atau macam itu.
Dan definisinya bagi orang awam lama-kelamaan membias. Pendapat silih berganti, tapi semua orang punya tendensi.