Naskah Khutbah Jumat Terbaru Juli 2022 Edisi Menyambut Bulan Muharram, Tema: Mencintai Sunnah Rasulullah SAW

28 Juli 2022, 16:00 WIB
Ilustrasi. Naskah khutbah Jumat tentang menyambut bulan Muharram, dengan tema mencintai sunnah Rasulullah SAW. /Pexels.com/Manprit Kalsi

SEPUTARLAMPUNG.COM – Naskah khutbah Jumat terbaru Juli 2022 berikut ini adalah edisi menyambut menyambut bulan Muharram dengan tema: Mencintai Sunnah Rasulullah SAW.

Di bulan Muharram yang mulia ini, ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk makin menjadi pribadi muslim lebih baik, salah satunya dengan semakin mencintai apa yang telah diajarkan Rasulullah SAW.

Berikut ulasan mengenai mencintai sunnah Rasulullah SAW yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. saat khutbah Jumat di Masjid Al-Barkah, Komplek Rodja, Kp. Tengah, Cileungsi, Bogor.

Baca Juga: Bacaan Doa Akhir Tahun dan Awal Tahun Baru Islam 1 Muharram 1444 H pada 30 Juli 2022, Ini 7 Amalan Sunnahnya

Khutbah Pertama

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ،

أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه

Ummatal Islam,

Senantiasa kita memuji Allah atas limpahan karunia dan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Terutama nikmat iman dan Islam dan diberikan kepada kita untuk senantiasa menaati-Nya dan menjauhi maksiat-maksiat-Nya.

Sesungguhnya di antara nikmat yang Allah berikan kepada seorang hamba adalah ia berusaha untuk mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Di dalam kehidupan sehari-harinya, ia berusaha untuk mencintai Rasulullah dengan sepenuh hatinya. Dan dia wujudkan dalam praktek kehidupannya.

Seorang muslim yang menyatakan dirinya “asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah,” dia wajib untuk senantiasa mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Cinta Rasul tiada lain adalah dengan ittiba’. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah: ‘Jika kalian memang mencintai Allah, maka ikuti aku (yaitu Rasulullah) niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)

Mengikuti Rasulullah bukan hanya dalam perbuatannya, namun juga mengikuti Rasulullah disaat Rasulullah meninggalkan sesuatu perbuatan, walaupun memang tidak setiap yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tinggalkan itu menjadi tidak boleh kemudian setelahnya.

Karena para ulama telah memberikan perincian bahwa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tinggalkan karena belum ada pendorongnya dan belum ada penyebabnya. Maka ketika penyebab atau pendorong itu muncul dan maslahatnya besar, maka itu boleh dilakukan.

Baca Juga: Download 20 Twibbon Tahun Baru Islam 1 Muharram 1444 Hijriyah di Link Ini, Simak Cara Mudah Pasang ke Medsos

Seperti contohnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di zaman beliau tidak tidak mengajarkan ilmu musthalah hadits, tidak punah ilmu bahasa Arab (ilmu nahwu dan sharaf), karena di zaman itu belum ada pendorongnya, belum dibutuhkan oleh para sahabat.

Karena para sahabat orang-orang yang sangat alim tentang bahasa Arab, tentang ilmu ushul fiqih dan yang lainnya.

Yang kedua, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan suatu perbuatan karena masih ada penghalangnya. Maka ketika penghalang itu telah hilang dan maslahatnya besar, maka boleh dilakukan dan itu tidak termasuk bid’ah sama sekali.

Sebuah contoh adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukan shalat tarawih setiap malam. Hal ini karena ada penghalangnya. Yaitu khawatir diwajibkan atas umatnya.

Di zaman ‘Umar bin Khattab, kekhawatiran ini sudah hilang, penghalangnya sudah hilang, tidak mungkin lagi diwajibkan dan maslahatnya pun besar. Maka ‘Umar pun mengadakan shalat tarawih berjamaah setiap malamnya.

Maka yang seperti ini perkara-perkara yang diperbolehkan untuk kita lakukan. Tentunya yang berfatwa adalah para ulama besar mujtahidin.

Yang menjadi permasalahan adalah yang ketiga ini, yaitu yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tinggalkan dan beliau tidak lakukan.

Padahal pendorongnya ada di zaman Nabi, dibutuhkan di zaman Nabi, penghalangnya pun tidak ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun Nabi tetap meninggalkannya, ini menunjukkan bahwa memang itu tidak disyariatkan.

Sebuah contoh adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat Idul Fitri dan Idul Adha tidak dengan adzan, tidak pula dengan iqomah. Padahal adzan dan iqomah dibutuhkan dan pendorongnya ada, yaitu memanggil orang untuk shalat, mengingatkan mereka untuk shalat.

Penghalangnya pun tidak ada, Nabi mampu memerintahkan Bilal untuk adzan. Tapi sengaja Nabi tinggalkan, walaupun Nabi mampu dan itu dibutuhkan. Ketika Nabi tinggalkan, menunjukkan bahwa itu dalam rangka pensyariatan.

Baca Juga: Bacaan Niat Puasa Tasu’a dan Asyura 9-10 Muharram 1444 H, Salah Satu Keutamaan: Menghapus Dosa Setahun Lalu

Maka setiap di zaman ini yang shalat Ied dengan adzan dan iqomah, kita katakan Anda telah mengada-ngada dalam agama yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka, perhatikanlah tiga perkara ini. Bahwa ternyata tidak setiap yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tinggalkan atau tidak lakukan, itu setelah Rasulullah meninggal lalu kita lakukan dianggap sebagai bid’ah, tidak. Akan tetapi harus melihat tiga keadaan tadi.

Kita sekarang di bulan Dzulhijjah dan akan menghadapi bulan Muharram. Banyak kaum muslimin ketika memasuki tanggal 1 Muharram mereka merayakan dengan istilah perayaan tahun baru. Dan mereka kemudian merayakannya dengan menyalakan obor-obor di malam hari.

Cobalah kita perhatikan:

Yang pertama, bukankah merayakan tahun baru di zaman Nabi pun ada pendorongnya? Di zaman sekarang mereka mengatakan ini termasuk syiar Islam katanya.

Tentu kalau itu syiar Islami, tentu Nabi sudah melakukannya dan Nabi tidak lemah untuk melakukannya, Nabi mampu melakukannya, saudaraku.

Apalagi kemudian syiar-syiar majusi yang di situ dibakar padanya obor-obor ataupun api-api yang itu sama sekali bukan syiar Islam, saudaraku.

Maka Ummatal Islam, inilah yang kita perhatikan.

Di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pendorong tersebut ada, yaitu untuk menegakkan syiar Islam.

Penghalangnya pun tidak ada, Nabi mampu melakukannya. Tapi Nabi tidak lakukan, tidak pula para sahabat, tidak pula para tabi’in, tidak pula imam yang empat; baik itu Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, tidak pula ulama-ulama setelahnya lakukan.

Kalaulah itu itu perkara yang baik, tentu mereka lebih tahu dari kita, mereka yang lebih semangat kepada kebaikan dari kita, dan mereka orang yang paling mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah dari kita, ya akhal Islam a’azzaniyallahu wa iyyakum.

Baca Juga: 8 Amalan Bulan Muharram Dianjurkan bagi Umat Islam, Nomor 4 Dapat Menghapus Dosa Setahun yang Lalu

Maka konsekuensi kita ketika kita mengatakan “saya cinta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,” ikutilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka ikutilah Rasulullah, ikutilah para ulama setelahnya. Jangan kita mengada-ngada dalam agama yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah dan RasulNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegur orang-orang yang membuat-buat syariat yang Allah tidak izinkan. Allah berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ۚ

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang membuat syariat untuk mereka dari agama ini sesuatu yang tidak pernah Allah izinkan untuk mereka?” (QS. Asy-Syura: 21)

Ummatal Islam..

Karena sesungguhnya agama kita telah sempurna, agama kita tidak membutuhkan lagi syariat-syariat yang baru, agama kita tidak membutuhkan lagi tata cara yang baru.

Semua yang memasukkan ke surga telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan semua yang memasukkan ke neraka telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ummatal Islam,

Kewajiban kita adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dalam masalah yang sifatnya ‘ubudiyah (ibadah) adalah menunggu perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Jangan melakukan suatu ibadah apabila ternyata tidak ada perintahnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Ya Akhi, adat-istiadat yang bertabrakan dengan syariat tidak boleh kita amalkan.

Misalkan ada yang mengatakan “ini hanyalah kebiasaan dan adat.” Akan tetapi, ketika adat itu menjadi sebuah ritual, bahkan dianggap sebagai sebuah syiar agama, bahkan sebagai sesuatu yang mendekatkan diri pada Allah SWT, maka itu artinya berubah menjadi ibadah.

Sedangkan ibadah itu bersifat tauqifiyah, menunggu dalil dari Allah dan RasulNya Shalawatullahi ‘Alaihi wa Salamuhu.

Baca Juga: Misteri Malam 1 Suro 2022, Mitos atau Fakta? Ini Amalan dan Bacaan Doa 1 Muharram 1444 H Tahun Baru Islam

أقول قولي هذا واستغفر الله لي ولكم

Ummatal Islam,

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mensyariatkan kepada kita syariat-syariat yang sangat sempurna sekali. Maka kewajiban kita adalah mencintai syariat-syariat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Menjadi sebuah perkara yang terbalik, akhi. Ketika kita mencintai perayaan-perayaan ataupun tata cara ritual ibadah yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah, tetapi sesuatu yang jelas-jelas Rasulullah syariatkan kita malah membencinya.

Banyak di antara kaum muslimin begitu rajin mengadakan perayaan yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah dan RasulNya, tapi ketika melihat orang yang melaksanakan sunnah Rasul, ia malah membencinya.

Ketika ia melihat ada orang yang berjenggot, ketika ia melihat ada orang yang memakai celana di atas mata kaki, dia langsung mengatakan, “ini wahabi, ini teroris,” Subhanallah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah jelas-jelas mensyariatkan kepada umatnya.

Sunnah yang sudah jelas malah dibenci tetapi sesuatu yang tidak ada dalilnya malah dicintai, bahkan berlomba-lomba mengamalkannya. Sebuah fenomena yang terbalik, saudaraku.

Kata para ulama, membenci Rasulullah masuk padanya membenci sunnahnya, masuk padanya membenci ajarannya. Maka orang yang membenci sunnahnya, membenci ajarannya, maka ia terputus.

Terputus dari apa? Yaitu terputus dari rahmat Allah dan berbagai macam kebaikan, terputus dari keberkahan di dunia dan akhiratnya, bahkan terputus dari surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Karena tak layak seorang mukmin membenci ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.***

Editor: Ririn Handayani

Sumber: Ngaji.id

Tags

Terkini

Terpopuler